Selasa, 27 September 2016

Kasus Satinah

Seorang tenaga kerja Indonesia, Satinah , di Arab Saudi divonis hukuman mati  karena telah melakukan tindak kejahatan yaitu membunuh majikannya sendiri. Satinah dibebankan uang diyat sebesar Rp. 21 Miliar yang tak kunjung terkumpul dan hasil terakhir ‘urunan’ untuk Satinah baru terkumpul sekitar Rp. 15 Miliar. Migran Care dalam keterangan persnya, menduga adanya permainan calo dalam kasus ini. Perhimpunan buruh migran ini mengungkapkan jika uang diyat ini seolah-olah menjadi komoditas bisnis. Sementara itu, pengamat Hukum Internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, bahwa seharusnya uang diyat dibaray oleh keluar Satinah.
Namun alat eksekusi pancung tak jadi mengakhiri hidup seorang Satinah, tenaga kerja Indonesia (TKI) yang terbukti membunuh majikannya di Arab Saudi. Uang diyat menyelamatkan nyawa Satinah.
Uang diyat sendiri adalah kompensasi yang harus dibayar oleh pelaku kejahatan yang masuk kategori “qisasi” yaitu kejahatan yang dilakukan terhadap hak manusia atau privat. Dalam hukuman ini diberlakukan hukuman mati.
Raja Arab Saudi awalnya menetapkan nilai uang diyat sebesar 500 ribu Riyal. Namun pada kenyataannya, nilai tersebut berubah dan ditentukan sendiri oleh keluarga korban.


Arab Saudi, 16 Juni 2007. Kala itu, hari masih pagi saat satinah bertengkar dengan majikannya bernama Nura Al Garib di dapur. Pertengkaran itu bermula dari hal sepele bagi orang Indonesia, tapi masalah besar di Arab Saudi. Budaya Saudi memang tidak membolehkan perempuan dan laki-laku yang bukan muhrim berada dalam satu ruangan yang sama. Apalagi kalau sampai kedua orang yang bukan muhrim itu berbicara. Nura kemudian memukul kepala Satinah menggunakan penggaris. Tak cukup dengan itu, kepala Satinah dibenturkan ke dinding. Merasa nyawanya terancam, Satinah berusaha meraih benda apapun untuk membalas penganiyaan majikannya itu. Tangan Satinah berhasil meraih kayu penggilingan adonan roti. Tak tunggu lama, dia memukul Nura. Salah satu pukulan itu mengenai tengkuk Nura Al Garib. Sang Majikan pingsan. Keluarga yang panik kemudian melarikan Nura ke rumah sakit. Namun, nyawa perempuan tua itu tak selamat setelah sempat koma. Satinah kabur. Rupanya, perempuan 41 tahun itu sempat meraih tas majikannya sebelum kabur. Ada uang di dalam tas senilai SR37.970 atau Rp122 juta. Hal ini makin memperburuk nasib Satinah. Satinah kemudian menyerahkan diri ke kantor polisi setempat dan mengakui perbuatannya. Sejak saat itu Satinah berada di Penjara Gassem. Kemudian, dalam persidangan syariah tingkat pertama pada 2009 sampai kasasi 2010, Satinah divonis hukuman mati atas tuduhan melakukan pembunuhan berencana pada majikan perempuannya. Awalnya Satinah direncanakan dihukum mati Agustus 2011, namun ditunda. Menurut data dari Kementerian Luar Negeri, tenggat waktu eksekusi Satinah itu sudah ditunda lima kali, yakni pada Juli 2011, 23 Oktober 2011, Desember 2012, Juni 2013, dan Februari 2014. Terakhir, tenggat waktu itu ditentukan 3 April 2014. Sepekan sebelum tenggat waktu ini berakhir, sejumlah kelompok masyarakat Indonesia menggalang dana untuk menebus uang diyat yang diminta keluarga Nura Al Garib, yakni Rp21,2 miliar.

Pendapat saya terhadap kasus Satinah ini seharusnya pemerintah membantu warga negaranya sendiri disaat mereka membutuhkan terlebih Satinah ini berada di negeri orang. Dan bagi penyalur sebaiknya mendidik para calon TKI terlebih dahulu agar mereka tidak terlalu dibodohi oleh majikannya nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar