Seorang tenaga kerja Indonesia,
Satinah , di Arab Saudi divonis hukuman mati
karena telah melakukan tindak kejahatan yaitu membunuh majikannya
sendiri. Satinah dibebankan uang diyat sebesar Rp. 21 Miliar yang tak kunjung
terkumpul dan hasil terakhir ‘urunan’ untuk Satinah baru terkumpul sekitar Rp.
15 Miliar. Migran Care dalam keterangan persnya, menduga adanya permainan calo
dalam kasus ini. Perhimpunan buruh migran ini mengungkapkan jika uang diyat ini
seolah-olah menjadi komoditas bisnis. Sementara itu, pengamat Hukum
Internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, bahwa seharusnya
uang diyat dibaray oleh keluar Satinah.
Namun alat eksekusi pancung tak
jadi mengakhiri hidup seorang Satinah, tenaga kerja Indonesia (TKI) yang
terbukti membunuh majikannya di Arab Saudi. Uang diyat menyelamatkan nyawa
Satinah.
Uang diyat sendiri adalah
kompensasi yang harus dibayar oleh pelaku kejahatan yang masuk kategori
“qisasi” yaitu kejahatan yang dilakukan terhadap hak manusia atau privat. Dalam
hukuman ini diberlakukan hukuman mati.
Raja Arab Saudi awalnya
menetapkan nilai uang diyat sebesar 500 ribu Riyal. Namun pada kenyataannya,
nilai tersebut berubah dan ditentukan sendiri oleh keluarga korban.
Arab Saudi, 16 Juni 2007. Kala itu, hari masih pagi
saat satinah bertengkar dengan majikannya bernama Nura Al Garib di dapur.
Pertengkaran itu bermula dari hal sepele bagi orang Indonesia, tapi masalah
besar di Arab Saudi. Budaya Saudi memang tidak membolehkan perempuan dan
laki-laku yang bukan muhrim berada dalam satu ruangan yang sama. Apalagi kalau
sampai kedua orang yang bukan muhrim itu berbicara. Nura kemudian memukul
kepala Satinah menggunakan penggaris. Tak cukup dengan itu, kepala Satinah
dibenturkan ke dinding. Merasa nyawanya terancam, Satinah berusaha meraih benda
apapun untuk membalas penganiyaan majikannya itu. Tangan Satinah berhasil meraih kayu penggilingan adonan
roti. Tak tunggu lama, dia memukul Nura. Salah satu pukulan itu mengenai
tengkuk Nura Al Garib. Sang Majikan pingsan. Keluarga yang panik kemudian
melarikan Nura ke rumah sakit. Namun, nyawa perempuan tua itu tak selamat
setelah sempat koma. Satinah kabur. Rupanya, perempuan 41 tahun itu sempat
meraih tas majikannya sebelum kabur. Ada uang di dalam tas senilai SR37.970
atau Rp122 juta. Hal ini makin memperburuk nasib Satinah. Satinah kemudian
menyerahkan diri ke kantor polisi setempat dan mengakui perbuatannya. Sejak
saat itu Satinah berada di Penjara Gassem. Kemudian,
dalam persidangan syariah tingkat pertama pada 2009 sampai kasasi 2010, Satinah
divonis hukuman mati atas tuduhan melakukan pembunuhan berencana pada majikan
perempuannya. Awalnya Satinah direncanakan dihukum mati Agustus 2011, namun
ditunda. Menurut data dari Kementerian Luar Negeri, tenggat waktu eksekusi
Satinah itu sudah ditunda lima kali, yakni pada Juli 2011, 23 Oktober 2011,
Desember 2012, Juni 2013, dan Februari 2014. Terakhir,
tenggat waktu itu ditentukan 3 April 2014. Sepekan sebelum tenggat waktu ini
berakhir, sejumlah kelompok masyarakat Indonesia menggalang dana untuk menebus
uang diyat yang diminta keluarga Nura Al Garib, yakni Rp21,2 miliar.
Pendapat
saya terhadap kasus Satinah ini seharusnya pemerintah membantu warga negaranya
sendiri disaat mereka membutuhkan terlebih Satinah ini berada di negeri orang. Dan
bagi penyalur sebaiknya mendidik para calon TKI terlebih dahulu agar mereka
tidak terlalu dibodohi oleh majikannya nanti.